Senin, 03 Januari 2011

Bagi Syi’ah, Dua Kalimat Syahadat Tidak Cukup Sebagai Bekal Masuk Surga


Al Khunisari berkata Seusai menukilkan ungkapan di atas, sayyid Ni’matullah Al Musawi berkata
“Dan penjelasannya sebagai berikut: Seluruh kelompok bersepakat bahwa dua kalimat syahadat adalah sumber keselamatan (dari neraka -pent), dengan dasar sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam :
من قال لا إله إلا الله دخل الجنة
“Siapa yang bersaksi bahwa ‘tiada yang layak untuk disembah selain Allah’ niscaya ia akan masuk surga".
Adapun kelompok Imamiyyah, mereka sepakat bahwa keselamatan tidak akan terwujud selain dengan sikap loyal kepada Ahlul Bait hingga imam kedua belas, dan berlepas diri dari seluruh musuh-musuh mereka (maksudnya Abu Bakar, Umar hingga manusia terakhir yang beragama Islam selain dari sekte Syi’ah, baik penguasa atau rakyat biasa), sehingga kelompok ini menyelisihi seluruh kelompok lain dalam hal ideologi ini yang merupakan sumber keselamatan”.
Sungguh At Thusi, Al Musawi dan Al Khunisari telah benar!! Dan dalam waktu yang bersamaan telah berdusta!!.
Mereka benar bahwa seluruh kelompok memiliki kedekatan dalam hal prinsip dan berselisih dalam hal sekunder, oleh karena itu amat dimungkinkan untuk terjadinya solidaritas dan pendekatan antara berbagai kelompok yang dasar ideologinya saling berdekatan. Sedangkan pendekatan ini mustahil untuk terjadi bersama sekte Syi’ah Al Imamiyyah, karena mereka menyelisihi seluruh umat Islam dalam hal prinsip, dan mereka tiada pernah rela dari umat Islam hingga mereka semua mengutuk (Al Jibtu & At Thoghut) Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma serta setiap muslim selain mereka hingga hari ini.
Dan hingga mereka berlepas diri dari setiap orang selain Syi’ah sampai pun putri-putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam  yang dinikahkan dengan Dzu An Nurain Utsman bin Affan dan tokoh bani Umayyah sang pemberani nan mulia yaitu Al ‘Ash bin Ar Rabi’ yang telah disanjung oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam  dari atas mimbar Masjid An Nabawi As Syarif dan di hadapan khalayak umat Islam kala itu, yaitu tatkala sahabat Ali radhiallahu ‘anhu hendak menikahi putri Abu Jahl, dan menjadikannya sebagai madu bagi putri pamannya Fathimah radhiallahu ‘anha (Setiap wanita anak saudara ayah seseorang manapun disebut juga sebagai anak paman, oleh karena itu penulis menyebut bahwa Fatimah radhiallahu ‘anha adalah sepupu sahabat Ali radhiallahu ‘anhu, karena ia adalah putri saudara sepupunya) kemudian Fatimah mengadukannya kepada ayahnya.
Dan juga (Syi’ah tidak akan pernah rela -ed muslim) hingga umat islam berlepas diri dari Imam Zaid bin Ali Zainal ‘Abidin bin Al Husain bin Ali bin Abi Tholib, dan seluruh Ahlul Bait yang tidak sudi untuk tunduk di bawah bendera Rafidhoh (Syi’ah Imamiyyah) dalam setiap ideologi mereka yang berkelok-kelok, yang di antaranya ialah meyakini bahwa Al Quran telah diselewengkan.
Dan sungguh mereka telah meyakini ideologi ini sepanjang masa dan pada setiap generasi mereka, sebagaimana yang dinukilkan dan dicatatkan oleh cendekiawan cemerlang sekaligus tokoh pujaan mereka, yaitu Haji Mirza Husain bin Muhammad Taqi An Nuri At Thobarsi dalam bukunya “Fashlul Khithaab Fi Itsbaat Tahrif Kitaab Rabbil Arbaab”. Seorang tokoh yang telah melakukan tindak kekejian dengan menuliskan setiap baris dari buku ini di sisi kuburan seorang sahabat mulia pemimpin kota Kufah Al Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu, yang dianggap oleh sekte Syi’ah sebagai kuburan sahabat Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu.
Sesungguhnya sekte Syi’ah mensyaratkan kepada kita agar terwujud toleransi dengan mereka dan agar mereka ridha dengan pendekatan kita kepada mereka: hendaknya kita ikut serta bersama mereka mengutuk para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, dan berlepas diri dari setiap orang selain anggota sekte mereka, sampai pun putri-putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam  dan anak cucu beliau, dan sebagai baris terdepan dari mereka ialah Zaid bin Zainal ‘Abidin, dan setiap orang yang sejalan dengan beliau dalam mengingkari perilaku mungkar sekte Rafidhah (Syi’ah Imamiyyah). Inilah sisi jujur dari teks yang dinukil dari An Nushair At Thusi, dan yang disetujui oleh Sayyid Ni’matullah Al Musawi dan Mirza Muhammad Baqir Al Musawi Al Khunisari Al Ashbahani, dan tidak ada seorang syi’ah pun yang menyelisihinya, baik dari kalangan yang dengan tegas menampakkan ideologi taqiyyah atau yang menyembunyikannya.
Adapun sisi kedustaan mereka ialah pengakuan mereka bahwa sekedar mengucapkan dua kalimat syahadat adalah sumber keselamatan di akhirat menurut umat Islam selain sekte Syi’ah. Seandainya mereka berakal atau memiliki pengetahuan, niscaya mereka mengetahui bahwa dua kalimat syahadat menurut Ahlusunnah adalah pertanda masuknya seseorang ke dalam Islam. Dan orang yang telah mengucapkannya -walaupun ia sebelumnya adalah kafir harbi (Kafir Harbi ialah orang kafir yang menampakkan permusuhan terhadap Islam dan umat Islam -pent)- berubah menjadi orang yang dilindungi darah dan harta bendanya di dunia. Adapun keselamatan di akhirat, maka keselamatan hanya tercapai dengan keimanan yang benar, dan bahwasanya keimanan itu -sebagaimana ditegaskan oleh Amirul Mukminin Umar bin Abdul ‘Aziz- memiliki berbagai kewajiban, syariat, batasan-batasan, dan sunnah-sunnah, barang siapa yang menjalankannya dengan sempurna, maka ia telah mencapai kesempurnaan iman, dan barang siapa yang tidak menjalankannya dengan sempurna, maka ia belum mencapai kesempurnaan iman. Dan mempercayai keberadaan imam mereka yang kedua belas tidak termasuk dari syariat iman, karena sebenarnya ia adalah figur rekaan yang dinisbatkan dengan dusta kepada Al Hasan Al ‘Askari yang wafat tanpa meninggalkan seorang anak pun, dan saudara kandungnya yang bernama Ja’far mewarisi seluruh harta warisannya, dengan dasar karena ia tidak meninggalkan seorang anakpun.
Marga Alawiyyin (Yang dimaksud dengan Alawiyyin ialah anak keturunan sahabat Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu -pent) memiliki daftar keturunan yang kala itu dipegang oleh seorang perwakilan dari mereka, sehingga tidaklah dilahirkan seorang bayi pun dari mereka, melainkan akan dicatat padanya, dan padanya tidak pernah terdaftar seorang anak pun bagi Al Hasan Al ‘Askari. Dan marga Alawiyyin yang semasa dengan Al Hasan Al ‘Askari tidak pernah mengetahui bahwa ia meninggalkan seorang anak laki-laki. Hakikat yang sebenarnya telah terjadi adalah: tatkala Al Hasan Al ‘Askari wafat dalam keadaan mandul, dan silsilah keimaman para pemuja mereka yaitu sekte Imamiyyah terputus, mereka menghadapi kenyataan bahwa paham mereka akan mati bersama kematiannya, dan mereka tidak lagi menjadi sekte Imamiyyah, karena tidak lagi memiliki imam. Oleh karena itu, salah seorang setan mereka yang bernama Muhammad bin Nushair, salah seorang mantan budak Bani Numair mencetuskan gagasan bahwa Al Hasan Al ‘Askari memiliki anak laki-laki yang disembunyikan di salah satu terowongan ayahnya, agar ia dan para sekongkolnya dengan nama Imam tersebut dapat mengumpulkan zakat dari masyarakat dan hartawan sekte Syi’ah! Dan agar mereka -walau dengan berdusta- dapat meneruskan propaganda bahwa mereka adalah pengikut para Imam.
(Dan terowongan ayahnya -seandainya memang benar bahwa ayahnya memiliki terowongan- maka para pengikut sekte Syi’ah tidak mungkin untuk memasukinya, karena terowongan tersebut berada di kekuasaan Ja’far saudara kandung Al Hasan Al ‘Askari, dan ia meyakini bahwa saudara kandungnya yaitu Al Hasan tidak memiliki anak lelaki, tidak di dalam terowongan fiktif tersebut juga tidak di luarnya. Dan bila ia bersembunyi di berbagai terowongan!!! maka mana mungkin mereka dapat menemukannya.
Muhammad bin Nushair ini menginginkan agar dialah yang menjadi “Al Bab (pintu penghubung)” terowongan fiktif tersebut, sebagai penyambung lidah antara imam fiktif dengan pengikutnya, dan bertugas memungut harta zakat. Akan tetapi kawan-kawannya para setan penggagas makar ini tidak menyetujui keinginannya tersebut, dan mereka tetap bersikukuh agar yang berperan sebagai “Al Bab/pintu” ialah seorang pedagang minyak zaitun atau minyak samin. Pedagang ini memiliki toko kelontong di depan pintu rumah Al Hasan dan ayahnya, sehingga mereka dapat mengambil darinya segala kebutuhan rumah tangga mereka. Tatkala terjadi perselisihan ini, pencetus ide ini (yaitu Muhammad bin Nushair -pent) memisahkan diri dari mereka, dan mendirikan sekte An Nushairiyah yang dinisbatkan kepadanya.
Dahulu kawan-kawan Muhammad bin Nushair memikirkan supaya mereka mendapatkan cara untuk memunculkan figur “Imam Ke-12″ yang mereka rekayasa, dan kemudian ia menikah dan memiliki anak keturunan yang memegang tampuk Imamah sehingga paham Imamiyah mereka dapat berkesinambungan. Akan tetapi terbukti bagi mereka bahwa munculnya figur tersebut akan memancing pendustaan dari perwakilan marga Alawiyyin dan seluruh marga ‘Alawiyyin serta saudara-saudara sepupu mereka para khalifah dinasti Abbasiyyah dan juga para pejabat mereka. Oleh karenanya mereka akhirnya memutuskan untuk menyatakan bahwa ia tetap berada di terowongan, dan bahwasanya ia memiliki persembunyian kecil dan persembunyian besar, hingga akhir dari dongeng unik yang tidak pernah didengar ada dongeng yang lebih unik daripadanya, sampai pun dalam dongeng bangsa Yunani.
Mereka menginginkan dari seluruh umat Islam yang telah dikaruniai Allah dengan nikmat akal sehat agar mempercayai dongeng palsu ini!! Agar pendekatan antara mereka dengan sekte Syi’ah dapat dicapai?! Mana mungkin terjadi, kecuali bila dunia Islam seluruhnya telah berpindah tempat (ke rumah sakit jiwa) guna menjalani pengobatan gangguan jiwa!! Dan Alhamdulillah atas kenikmatan akal sehat, karena akal sehat merupakan tempat ditujukannya tugas-tugas agama, dan akal sehat -setelah nikmat iman yang benar- merupakan kenikmatan terbesar dan termulia.
Sesungguhnya umat Islam berloyal kepada setiap orang mukmin yang benar imannya, termasuk di dalamnya orang-orang saleh dari Ahlul Bait tanpa dibatasi dalam jumlah tertentu. Kaum mukminin terdepan yang mereka loyali ialah sepuluh sahabat yang telah diberi kabar gembira oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam  dengan surga. Seandainya sekte Syi’ah tidak melakukan perbuatan kufur selain sikap mereka yang menyelisihi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam  bahwa kesepuluh sahabat tersebut adalah penghuni surga, niscaya ini cukup sebagai alasan untuk memvonis mereka kafir.
Sebagaimana umat Islam juga berloyal kepada seluruh sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam  yang di atas pundak merekalah agama Islam tegak dan terbentuk dunia Islam, kebenaran dan kebaikan tumbuh subur di bumi Islam dengan tumpahan darah mereka. Merekalah orang-orang yang dengan sengaja sekte Syi’ah berdusta atas nama sahabat Ali dan anak keturunannya, sehingga mereka beranggapan bahwa mereka itu adalah musuh-musuh Ali dan anak-anaknya. Sungguh mereka telah hidup berdampingan bersama sahabat Ali dalam keadaan saling bersaudara, mencintai, bahu-membahu, dan mereka pun mati dalam keadaan saling mencintai dan bahu-membahu.
Amat tepat pensifatan tentang mereka yang Allah ta’ala sebutkan dalam surat Al Fath, dalam Kitabullah yang tiada kebatilan baik dari arah depan ataupun belakang. Allah ‘azza wa jalla berfirman tentang mereka:
أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاء بَيْنَهُمْ
“Mereka amat keras terhadap orang-orang kafir dan saling mengasihi sesama mereka.” (QS. Al Fath: 29)
Dan pada firman-Nya dalam surat Al Hadid:
وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا يَسْتَوِي مِنكُم مَّنْ أَنفَقَ مِن قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ أُوْلَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِّنَ الَّذِينَ أَنفَقُوا مِن بَعْدُ وَقَاتَلُوا وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى
“Padahal Allah-lah yang memiliki langit dan bumi? Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekkah). Mereka lebih tinggi derajatnya dari pada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka balasan yang lebih baik.” (QS. Al Hadiid: 10)
Adakah mungkin Allah mengingkari janji-Nya?! Allah juga berfirman tentang mereka pada surat Ali Imran:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia.” (QS. Ali Imran: 110)


Sumber: Mungkinkah Syi’ah dan Sunnah Bersatu?, Penulis: Syaikh Muhibbuddin Al Khatiib, Alih Bahasa : Ustadz Muhammad Arifin Badri, MA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar