Seperti yang telah kita duga, tingkah nyeleneh Aminah Wadud menjaring banyak pengikut. Di Amerika, beberapa tokoh wanita liberal telah mengikuti jejak Wadud untuk menjadi imam shalat Jumat di gereja.
Di Indonesia, adegan tak bermutu itu tengah disosialisasikan dan dicarikan dukungan. Tentu, di antara pendukungnya ada yang menyandang gelar Kyai Haji, ustadz maupun cendikiawan muslim.
Licik!
Ada cara licik yang dilakukan para pendukung Wadud untuk menggiring opini kaum muslimin. Mereka sengaja memfokuskan fenomena Wadud hanya sebatas pro kontra dalam masalah wanita menjadi imam bagi laki-laki. Bukan tidak disengaja, karena mereka mendapatkan hadits Ummu Waraqah –seperti yang akan kita kupas nanti insya Allah- yang menurut mereka bisa dijadikan dalil. Paling tidak mereka berusaha mengetengahkan kepada publik bahwa tidak semua ulama dahulu melarang wanita menjadi imam bagi laki-laki. Secara otomatis publik akan menganggap bahwa totalitas tindakan Wadud itu masih khilafiyah di kalangan ulama. Sengaja mereka tidak menyinggung sisi lain kenyelenehan Wadud dalam peristiwa yang menghebohkan itu. Karena untuk membelanya mereka bakal kewalahan mencarikan dalilnya. Mereka melupakan atau tepatya pura-pura lupa akan penyimpangan nyata Wadud dalam kasus tersebut.
Penyimpangan Wadud
Pertama, Aminah Wadud menjadi khathib shalat Jum’at. Silakan mereka cari, adakah riwayat yang menyebutkan bahwa salah satu istri nabi menjadi khathib bagi shalat Jum’at yang di hadiri para shahabat? Sengaja pembahasan yang menukik dalam masalah ini dihindari para pendukung Wadud.
Kedua, bercampurnya makmum laki-laki dan perempuan dalam satu shaf. Bisakah mereka menunjukkan bukti yang membenarkan hal ini? Bahkan yang ada adalah hadits yang menentang tindakan Wadud ini. Abu Malik a berkata,
"Bahwa Nabi saw. menjadikan shaf laki-laki dewasa di depan anak-anak, dan anak-anak di belakang mereka. Lalu di belakang anak-anak adalah shaf wanita, jadi shaf wanita di belakang anak-anak." (HR Ahmad)
Ketiga, Wadud melakukan shalat di gereja. Ini adalah tindakan yang sangat konyol. Tidak ada riwayat secuilpun yang menyebutkan bahwa Nabi atau shahabat, tabi’in ataupun para ulama penerus yang melakukan Jumatan di gereja. Taruhlah Wadud beralasan tiga masjid sekitar menolak usulannya, kalau bukan karena ingin ‘waton suloyo’, tentu dia tidak akan menjadikan gereja sebagai alternatif kedua. Mungkin bisa di rumah, gedung sekolah atau bahkan lapangan.
Keempat, muadzin dilakukan oleh seorang wanita. Tak ada satupun dalil yang shahih bahkan dha’if yang membenarkannya. Inipun sengaja tidak disinggung oleh para pendukung Wadud karena takut ketahuan boroknya.
Wanita Mengimami Pria
Poin terakhir ini membuka peluang bagi pembela Wadud untuk berdalil. Hadits yang dianggap mengesahkan bolehnya wanita menjadi imam bagi kaum laki-laki adalah hadits Abdurrahman bin Khallad yang berkata,
"Rasulullah mengunjungi Ummu Waraqah di rumahnya lalu memerintahkan seseorang untuk menjadi muadzin yang adzan di rumahnya, dan beliau memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam bagi penghuni rumahnya. Abdurrahman menambahkan, aku melihat muadzinnya adalah seorang laki-laki yang sudah tua." (HR Abu Dawud)
Jumhur (kebanyakan) ulama berpendapat bahwa hadits ini menunjukkan bolehnya seorang wanita menjadi imam bagi kaum wanita. Hadits ini tidak menunjukkan kebolehan wanita menjadi imam kaum laki-laki. Di situ hanya disebutkan bahwa nabi memerintahkan seseorang untuk adzan di rumah Ummu Waraqah, tidak tersurat bahwa laki-laki itu akhirnya ikut shalat bersama Ummu Waraqah. Jika laki-laki itu adzan hal ini tidak secara otomatis dan pasti dia shalat di situ, karena adzan dan shalat adalah dua hal yang berbeda. Seorang wanita tidak disyari’atkan adzan, tetapi ia disyari’atkan untuk menjadi imam shalat.
Tetapi kita tidak memungkiri adanya pendapat dari sedikit ulama terkemuka yang menjadikan hadits itu sebagai dasar tentang bolehnya wanita menjadi imam bagi makmum yang terdapat orang laki-laki di dalamnya, seperti pendapat Imam ath-Thabari dan Abu Tsaur al-Muzni. Tetapi, bukan sembarang laki-laki yang boleh bermakmum kepada wanita. Seperti disebutkan dalam hadits di atas,
"Dan beliau memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam bagi penghuni rumahnya."
Tampak dalam hadits tersebut Nabi hanya memerintahkan menjadi imam bagi penghuni rumahnya, bukan untuk laki-laki umum. Lalu siapa yang menjadi penghuni rumah Ummu Waraqah? Al-Hafizh menyebutkan, "Yang tampak adalah beliau menjadi imam bagi budak laki-laki dan budak perempuannya." Begitulah adanya, seperti yang dituturkan pula oleh Abdurrrahman bin Khalad bahwa beliau memiliki satu budak laki-laki dan satu budak wanita. Beliau mengatakan kepada keduanya, "Kalian akan merdeka setelah kematianku." Lalu keduanya sepakat untuk membunuh beliau agar bisa cepat merdeka.
Walhasil, kalaupun diterima bahwa wanita boleh menjadi imam laki-laki, maka laki-laki itu itu adalah budaknya, bukan sembarang laki-laki. Atau laki-laki tersebut sudah sangat tua sehingga susah ke masjid, seperti diindikasikan dalam perkataan perawi tersebut, "aku melihat muadzinnya adalah seorang laki-laki yang sudah tua (syaikhan kabiiran)." Tidak ada keterangan sedikitpun yang menyebutkan bahwa ada wanita pada zaman Nabi menjadi imam di masjid bagi jamaah laki-laki.
Dengan demikian jelaslah kecurangan pendapat para pembela Wadud yang liberal itu. Wallahu a’lam bishawab
Penulis: Ustadz Abu Umar Abdillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar