Senin, 03 Januari 2011

Da’i Pendekatan “Al Khalisi” Mengingkari Keikutsertaan Abu Bakar & Umar Dalam Bai’atur Ridwan



Sekedar contoh nyata akan hal di atas (kedustaan pernyataan mereka bahwa berbagai ideologi ini hanya ada pada masa silam, sedangkan sekarang ini semuanya telah berubah –ed muslim), kita sebutkan salah seorang dari mereka yang senantiasa mendengungkan di setiap pagi dan petang bahwa ia adalah salah satu pemrakarsa persatuan dan pendekatan, yaitu Syaikh Muhammad bin Muhammad Mahdi Al Khalisi, tokoh yang memiliki banyak kolega di Mesir dan lainnya dari para penyeru “pendekatan” dan para tokoh yang siang dan malam berupaya untuk menyosialisasikannya di antara Ahlusunnah.

Tokoh penyeru terhadap persatuan dan solidaritas ini -semoga ia mendapatkan balasan setimpal dari Allah- menafikan nikmat iman sekalipun dari Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma!!

Ia berkata pada bukunya “Ihya’us Syari’ah Fi Mazhabis Syi’ah” jilid 1 hal: 63-64: “Dan bila mereka berkata: Sesungguhnya Abu Bakar dan Umar termasuk orang-orang yang ikut andil dalam “Bai’atur Ridhwan” yang telah ditegaskan akan keridhaan Allah atas mereka dalam Al Quran:

لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ المُؤْمِنِيْنَ إذ يُبَايِعُوْنَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ

“Sungguh Allah telah ridha terhadap kaum mukminin yang membai’atmu (berjanji setia kepadamu) di bawah pohon.” (QS. Al Fath: 18)

Maka kami jawab: Seandainya Allah berfirman:

لقد رضي الله عن الذين يبايعونك تحت الشجرة أو عن الذين بايعوك

“Sungguh Allah telah ridha terhadap orang-orang yang sedang membai’atmu (berjanji setia kepadamu) di bawah pohon” atau “telah membai’atmu” maka pada ayat ini terdapat petunjuk akan keridhaan Allah kepada setiap yang membai’at, akan tetapi karena Allah berfirman:

لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ المُؤْمِنِيْنَ إذ يُبَايِعُوْنَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ

Sungguh Allah telah ridha terhadap kaum mukminin yang membai’atmu (berjanji setia kepadamu) di bawah pohon,” maka tidak ada petunjuk pada ayat ini kecuali keridhaan terhadap orang-orang yang telah memurnikan keimanannya”!?.

Makna dari ucapannya ini: bahwasanya Abu Bakar dan Umar radhiallahu’anhuma belum memurnikan keimanannya?! Sehingga tidak dicakup oleh keridhaan Allah?!

Subhanallah¸ tentu ini adalah kedustaan yang amat besar, semoga Allah senantiasa meridhai keduanya, dan melimpahkan kepadanya rahmat dan keridhaan yang melimpah ruah, amiin.

Dan telah berlalu sebelumnya perkataan An Najafi (tokoh dari kota Najef -pent) -semoga kecelakaan senantiasa menimpa kedua tangannya- penulis buku (Az Zahra’) bahwa sayyidina Umar bin Khatthab radhiallahu ‘anhu ditimpa penyakit yang tidak dapat diobati melainkan dengan air mani kaum lelaki?!
(Dan kita katakan kepada orang ini, dalam pepatah dikatakan: “ia menuduhku dengan penyakitnya sendiri, lalu ia lari bersembunyi”.

Inilah dua pemuka agama sekte Syi’ah yang hidup semasa dengan kami, dan termasuk orang-orang yang senantiasa mengaku-ngaku memiliki loyalitas tinggi terhadap agama Islam dan kaum Muslimin, dan andil besar dalam segala hal yang mendatangkan kebaikan bagi keduanya.

Bila semacam ini ucapan dua orang pemuka agama sekte Syi’ah dalam tulisan-tulisannya yang telah diterbitkan dan yang menjelaskan tentang ideologi keduanya tentang orang terbaik dari kaum muslimin setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, yaitu Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma, atau minimal termasuk orang yang terbaik dalam sejarah Islam, maka apakah yang akan kita harapkan dari upaya toleransi dan ikut andil dalam upaya pendekatan antar berbagai mazhab. Dan apakah mereka semua itu adalah murni barisan ke lima dalam tatanan masyarakat muslim?.

Di saat mereka menghinakan para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, para pengikut mereka (Tabi’in) dan seluruh pemimpin kaum muslimin sepeninggal mereka serendah ini, padahal merekalah yang telah membangun kekuasaan Islam dan mewujudkan dunia Islam ini. Pada saat yang bersamaan, mereka -sekte Syi’ah- berkeyakinan tentang imam-imam mereka berbagai keyakinan yang para imam tersebut pasti berlepas diri dari hal-hal tersebut.

Al Kulaini telah menuliskan dalam bukunya “Al Kafi” -buku ini bagi mereka bagaikan kitab “Shahih Bukhori” bagi kaum muslimin- berbagai karakteristik dan sifat kedua belas imam mereka. Karakteristik dan sifat-sifat tersebut telah mengangkat derajat mereka dari manusia biasa hingga tingkatan tuhan-tuhan bangsa Yunani kuno.

Seandainya kita hendak menukilkan hal-hal semacam ini dari buku “Al Kafi” dan buku-buku terpercaya mereka lainnya, niscaya akan terkumpul satu jilid buku besar. Oleh karenanya, kami akan cukupkan dengan menukilkan beberapa judul bab secara utuh dan dengan apa adanya dari buku “Al Kafi”, di antaranya judul bab-bab tersebut ialah:

1.     Bab: Bahwasanya Para Imam Mengetahui Segala Ilmu Yang Turun Kepada Para Malaikat, Nabi Dan Rasul (Al Kafi jilid 1/255, kitab Al Hujjah).

2.     Bab: Bahwasanya Para Imam Mengetahui Kapan Mereka Akan Meninggal, Dan Bahwasanya Mereka Tidaklah Meninggal Melainkan Atas Kehendak Mereka Sendiri. (Al Kafi jilid 1/258 kitab Al Hujjah).

3.     Bab: Bahwasanya Para Imam Mengetahui Perihal Yang Telah Lalu Dan Perihal Yang Akan Datang, Dan Sesungguhnya Tidak Ada Yang Tersembunyi Bagi Mereka Sesuatu Apapun. (Al Kafi jilid 1/260, kitab Al Hujjah).

4.     Bab: Bahwasanya Para Imam Memiliki Seluruh Kitab, Dan Mengetahuinya Dengan Segala Perbedaan Bahasanya. (Al Kafi jilid 1/227, kitab Al Hujjah).

5.     Bab: Bahwasanya Tidaklah Ada Orang Yang Pernah Menyatukan Al Quran Secara Utuh Selain Para Imam, Dan Bahwasanya Mereka Mengetahui Seluruh Ilmu Yang Terkandung Dalamnya. (Al Kafi jilid 1/228, kitab Al Hujjah).

6.     Bab: Apa-Apa Yang Dimiliki Oleh Para Imam Dari Mukjizat Para Nabi. (Al Kafi jilid 1/231, kitab Al Hujjah).

7.     Bab: Bahwasanya Para Imam Bila Telah Berhasil Berkuasa, Mereka Akan Berhukum Dengan Hukum Nabi Daud (?!) Dan Keluarga Daud  (?!)Dan Mereka Tidak Akan Pernah Meminta Persaksian/Bukti. (Al Kafi, 1/397, kitab Al Hujjah).

(Nabi Daud ‘alaihissalam adalah salah seorang nabi-nabi Umat Yahudi. Bila Nabi Musa ‘alaihissalaam hidup sekarang ini, ia akan beragama dengan agama Islam dan berhukum dengan hukum Islam, bukan dengan hukum Taurat atau hukum nabi Daud -hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Imam Ahmad, Al Baihaqy dll- mengapa para Imam sekte Syi’ah justru berhukum dengan hukum Nabi Daud?! Dan bila Nabi ‘Isa ‘alaihissalam ketika turun kembali ke dunia kelak sebelum hari kiamat juga berhukum dengan hukum Al Quran, -sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat imam Bukhari dan Muslim- dan bukan dengan hukum nabi Daud, mengapa para imam sekte Syi’ah justru berhukum dengan hukum keluarga Daud?! Bukankah ini merupakan indikasi kuat bahwa sebenarnya sekte Syi’ah hendak menghidupkan agama nabi Daud ‘alaihi salam yaitu agama Yahudi di tengah-tengah masyarakat Islam??!! (pent-).)


8.     Bab: Bahwasanya Tidaklah Ada Sedikit pun Kebenaran Yang Ada di Masyarakat Selain Yang Pernah Diajarkan Oleh Para Imam, Dan Bahwasanya Segala Sesuatu Yang Tidak Diajarkan Oleh Mereka, Maka Itu Adalah Bathil. (Al Kafi 1/399, kitab Al Hujjah).

9.     Bab: Bahwasanya Bumi Seluruhnya Adalah Milik Para Imam. (Al Kafi 1/407, kitab Al Hujjah).


Di saat mereka meyakini tentang 12 imam mereka hal-hal yang tidak pernah diakui oleh para imam tersebut, berupa pengetahuan tentang yang gaib, dan bahwasanya kedudukan mereka di atas kedudukan manusia biasa (Bahkan mereka meriwayatkan dari sahabat Ali radhiallahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata, “Akulah yang telah menjadi tinggi kemudian menundukkan, dan akulah yang menghidupkan dan mematikan, akulah yang pertama dan terakhir, akulah yang nampak dan tersembunyi.”

Sebagaimana disebutkan dalam buku “Al Ikhtishash” karya Syeikhul Mufid, sudah barang tentu berbagai sifat ini tidaklah dimiliki oleh selain Allah subhanahu wa Ta’ala. Dan juga seperti ucapan mereka,
“Sesungguhnya para imam kami memiliki kedudukan yang tidak dapat dicapai oleh para malaikat yang didekatkan, tidak juga nabi yang telah diutus.”

Al Khumaini dalam bukunya: “Al Hukumah Al Islamiyyah” hal 52). Pada saat yang bersamaan sekte Syi’ah mengingkari segala hal yang telah diwahyukan Allah kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam  dari hal-hal gaib, misalnya perihal penciptaan langit dan bumi, berbagai hal tentang surga dan neraka.

Hal ini telah dinyatakan dengan tegas dalam majalah “Risalatul Islam” yang diterbitkan oleh “Lembaga Pendekatan” yang berpusatkan di Kairo. Majalah ini memuat pada edisi ke-4, tahun ke-4, hal: 368, buah karya Kepala Mahkamah Syari’at Syi’ah Tertinggi di Lebanon, -seorang figur yang mereka anggap sebagai ulama’ mereka paling memikat tutur katanya- dengan tema: “Sebagian Dari Ijtihad-ijtihad Syi’ah Imamiyyah”.

Pada makalah ini, ia menukilkan dari tokoh ahli ijtihad mereka yang bernama Syaikh Muhammad Hasan Al Asytiyani, bahwasanya ia berkata dalam bukunya: “Bahrul Fawaid” jilid 1, hal: 267:
Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam  bila mengabarkan tentang hukum-hukum syariat, maksudnya: seperti hal-hal yang membatalkan wudhu, berbagai hukum haidh dan nifas, maka wajib untuk dipercayai dan diamalkan apa yang ia kabarkan. Dan bila ia mengabarkan tentang hal-hal gaib, misalnya tentang penciptaan langit dan bumi, bidadari dan istana di surga, maka tidak wajib untuk diimani, walaupun setelah kita tahu akan keabsahan hadits tersebut dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam , terlebih-lebih bila keabsahannya masih diragukan!?.

Ya Allah, amat mengherankan! Mereka berdusta dengan menisbatkan kepada para imam, bahwa mereka dapat mengetahui hal yang gaib, dan mereka beriman dengannya, padahal penisbatan hal tersebut kepada para imam tidak dapat dipastikan keabsahannya, di saat yang sama mereka menghalalkan diri untuk mengingkari berbagai berita tentang hal gaib yang telah terbukti keabsahannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, serta maknanya amat jelas dan tegas, misalnya ayat-ayat dan hadits-hadits shahih tentang penciptaan langit dan bumi, berbagai perihal tentang surga dan neraka. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pada setiap hadits yang terbukti shahih tersebut tidaklah berkata-kata atas dasar hawa nafsunya, hadits itu tiada lain kecuali wahyu yang telah diwahyukan kepadanya.

Setiap orang yang membandingkan antara berbagai hal yang dinisbatkan kepada para imam mereka dengan hadits-hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam  yang mengabarkan tentang hal gaib, niscaya akan terbukti baginya bahwa hal-hal gaib yang terbukti benar periwayatannya dari Rasulullah, baik dalam Al Quran atau hadits mutawatir nan shahih tidaklah mencapai sebagian kecil dari hal-hal yang didakwakan oleh sekte Syi’ah tentang kedua belas imam mereka, berupa ilmu gaib setelah terputusnya wahyu Allah dari penduduk bumi.

Dan seluruh perawi hal-hal gaib dari kedua belas imam tersebut telah dikenal di kalangan ulama’ ahli Al jarh wa ta’dil (salah satu disiplin ilmu hadits yang membicarakan tentang kredibilitas para periwayat hadits) dari kalangan Ahlusunnah sebagai para pendusta, akan tetapi para pengikut mereka dari kalangan sekte Syi’ah tidak menggubris akan kenyataan itu, dan tetap mempercayai segala riwayat mereka tentang hal-hal gaib yang dimiliki oleh para imam.

Pada saat yang bersamaan pula majalah “Risalatul Islam” yang diterbitkan oleh “Lembaga Pendekatan” memuat tulisan hakim Mahkamah Syari’at Tertinggi di Lebanon, sekaligus mujtahid mereka, yaitu Muhammad Hasan Al Asytiyani, yang mempropagandakan dan menyerukan anggapan tidak wajibnya mempercayai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam  dalam hal-hal gaib yang telah sah diriwayatkan darinya. Mereka hendak membatasi tugas kerasulan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam  dalam hal-hal yang membatalkan wudhu, hukum haid dan nifas serta berbagai perincian ilmu fikih yang serupa dengannya. Akan tetapi mereka mengangkat martabat imam-imam mereka dalam hal gaib melebihi martabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, padahal beliaulah yang mendapatkan wahyu, sedangkan para imam mereka tidak pernah mengaku mendapatkan wahyu. Dengan demikian, kami tidak tahu, pendekatan macam apakah yang mungkin dicapai antara kita dengan mereka setelah kita mengetahui fakta ini?!.

Di antara hal yang dapat kita cermati pada setiap fase sejarah sekte Syi’ah dan sikap tokoh dan masyarakat umum mereka terhadap pemerintahan Islam, bahwa pemerintahan Islam apa saja, bila dalam keadaan kuat dan kokoh, mereka senantiasa menjilat kepada mereka sebagai penerapan ideologi Taqiyyah guna mengeruk kekayaannya, serta meraih berbagai jabatan. Kemudian bila pemerintah tersebut telah melemah atau diserang oleh musuh, segera mereka berpihak kepada barisan musuh dan melawan pemerintah islam. Demikianlah yang mereka lakukan pada akhir masa dinasti Umawiyyah, tatkala Bani Abbasiyyah mengadakan pemberontakan. Bahkan revolusi Bani Abbasiyyah terjadi berkat bujuk rayu sekte Syi’ah.

Kemudian mereka juga bersikap keji semacam ini dengan Dinasti Bani Abbasiyyah, tatkala mereka terancam oleh serangan Holako Khan dan Bangsa Mongolia para penyembah berhala terhadap Khilafah Islam, ibu kota kejayaan, pusat kemajuan serta ilmu pengetahuannya.


Sumber: Mungkinkah Syi’ah dan Sunnah Bersatu?, Penulis: Syaikh Muhibbuddin Al Khatiib, Alih Bahasa : Ustadz Muhammad Arifin Badri, MA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar